Perjuangan Diplomasi Setelah Proklamasi Kemerdekaan NKRI
a. Perundingan Pendahuluan di Jakarta
Pada tanggal 23 Oktober 1945 diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Pihak Belanda diwakili Charles van der Plas dan van Mook. Dalam perundingan tersebut pihak Belanda mengutarakan keinginan menjalankan pemerintahan di Indonesia sesuai pernyataan Ratu Wilhelmina. Akan tetapi, keinginan tersebut ditolak oleh wakil delegasi Indonesia.
Pada tanggal 10 Februari 1946 Indonesia dan Belanda kembali dipertemukan dalam sebuah perundingan di Jakarta. Dalam perundingan ini delegasi Indonesia justru terpecah menjadi dua kubu, yaitu kubu Sutan Sjahrir yang mendukung perundingan dan kubu Tan Malaka yang menghendaki perjuangan fisik untuk mempertahankan kemerdekaan. Akhirnya, pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usulan kepada pemerintah Belanda agar Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
b. Perundingan Hooge Veluwe
Perundingan Hooge Veluwe dilaksanakan sebagai bentuk tindak lanjut pemerintah Belanda atas usulan Sutan Sjahrir. Pengan Hooge Veluwe berlangsung pada tanggal 14-24 April 1946.Perundingan ini juga dihadiri oleh pihak Sekutu yang diwakili Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah.
Dalam perundingan Hooge Veluwe kedua pihak masih berpegang teguh pada pendirian masing-masing. Pihak Indonesia berharap adanya langkah-langkah nyata menuju pengakuan kemerdekaan. Sementara itu, pihak Belanda menganggap perundingan Hooge Veluwe hanya sebagai perundingan pendahuluan. Perundingan Hooge Veluwe tidak menghasilkan kesepakatan berarti. Meskipun demiklan, perundingan Hooge Veluwe memberikan pengalaman bagi pihak Indonesia lebih percaya diri menghadapi perundingan-perundingan selanjutnya.
c. Perundingan Linggajati
Perundingan Linggajati diprakarsai oleh Lord Killearn (Inggris) dan dimulai pada tanggal 10 November 1946. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Sjahrir dengan anggota antara lain Moh. Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Adapun delegasi Belanda dipimpin oleh Schermerhorn dengan anggotanya yaitu van Mook dan van Pool.
Perundingan Linggajati akhirnya disetujui pada tanggal 25 Maret 1947 dan memuat beberapa ketetapan. Ketetapan tersebut antara lain Belanda mengakui kedaulatan RI (Republik Indonesia) secara de facto atas Jawa, Sumatera, dan Madura; Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Republik Indonesia Senkat (RIS); serta RIS dan Belanda akan mem-bentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.
d. Perundingan Renville
Perundingan Renville diawali dengan pembentukan Komisi Tiga Negara (KTN) yang diusulkan Dewan Keamanan PBB setelah Agresi Militer I Belanda. Perundingan Renville dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947. Pada Perundingan Renville delegasi Indonesia dipimpin Amir Syarifuddin dan delegasi Belanda dipimpin R.Abdulkadir Wijoyoatmojo.
Perundingan Renville menghasilkan tiga keputusan penting. Pertama, persetujuan gencatan senjata dan pembentukan garis demarkasi van Mook. Kedua, kesediaan kedua pihak menyelesaikan pertikaian secara damai. Ketiga, 6 pasal tambahan dari KTN yang isinya kedaulatan Indonesia berada di gengaman Belanda selama masa peralihan sampai terjadinya penyerahan kedaulatan.
e. Perundingan Roem-Royen
Pada tanggal 14 April 1949 Belanda dan Indonesia kembali berunding. Dalam perundingan tersebut delegasi Indonesia diwakili oleh Moh. Roem, sedangkan delegasi Belanda diwakili oleh van Royen. Perundingan Roem-Royen menghasilkan kesepakatan yaitu, penghentian tembak-menembak, pengembalian pemerintahan RI (Republik Indonesia) ke Yogyakarta, membebaskan para pemimpin Republik Indonesia yang di tahan oleh pihak Belanda, dan segera diadakan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag.
f. Konferensi Inter-Indonesia
Konforensi Inter-Indonesia diselenggarakan dua kali. Konferensi Inter-Indonesia pertama dilaksanakan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta. Konferensi Inter Indonesia merupakan koordinasi antara pemerintah Republik Indonesia dan Bijeenkomst vor Federal Overlog (BFO) mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam konferensi ini pemerintah Republik Indonesia dan BFO berupaya menyamakan persepsi untuk menghadapi Belanda dalam Konferensi Meja Bundar.
Pada tanggal 30 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta kembali dilaksanakan Konferensi Inter-Indonesia. Pelaksanaan Konferensi Inter Indonesia kedua ini bertujuan membahas pokok-pokok kesepakatan yang dhasilkan di Yogyakarta. Hasilnya, baik pihak Republik Indonesia maupun BFO menyetujui pembentukan Panitia Persiapan Nasional yang bertugas menyelenggarakan ketertiban sebelum dan sesudah KMB.
g. Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung pada tanggal 21 Agustus hingga 2 November 1949 di Kota Den Haag, Belanda. Dalam konferensi ini delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Bung Hatta, sedangkan di delegasi Belanda dipimpin oleh Mr. van Maarseven. Konferensi ini menghasilkan keputusan yaitu Belanda mengakui akan keberadaan Republik Indonesia Serikat (RIS); RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai Ratu Belanda; seluruh utang bekas Hindia Belanda ditanggung RIS; KNIL dibubarkan dan digabungkan dalam APRIS serta masalah Irian Barat akan secepatnya diselesaikan satu tahun setelah penyerahan kedaulatan.
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukan upacara penyerahan kedaulatan RIS oleh Belanda. Upacara penyerahan kedaulatan dilaksanakan di dua tempat, yaitu Belanda dan Indonesia. Di Belanda penyerahan kedaulatan dilakukan oleh Ratu Yuliana kepada Moh. Hatta. Adapun di Jakarta penyerahan kedaulatan dilakukan oleh A.H.J.Lovink kepada wakil pemerintah RIS Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Perjuangan Diplomasi Setelah Proklamasi Kemerdekaan NKRI
4/
5
Oleh
zedukasi
EmoticonEmoticon